Sabtu, 11 Juli 2020

Homo Soloensis: Pengertian, Sejarah, Dan Ciri-Cirinya


Homo Soloensis yaitu salah satu subspesies manusia purba yang dulunya diperkirakan hidup pada zaman Paleolitikum. Spesies ini sudah termasuk kedalam jenis manusia homo erectus atau bangun tegak.





Di Indonesia sendiri, lumayan banyak ditemukan aneka macam fosil manusia purba yang hidup dari kala Pleistosen bawah seperti Meganthropus Paleojavanicus, hingga yang telah mengalami evolusi di kala-periode setelahnya.





Sama halnya dengan insan purba lain yang telah menjalani kehidupan di zaman praaksara, subspesies homo sapiens ini mewariskan hasil kebudayaan yang sampai sekarang masih dicoba untuk diekskavasi dan dieksplorasi oleh para arkeolog.





Para peneliti masih terus mengkaji informasi yang ditemukan dari bermacam-macam artefak dan benda purba, guna memproyeksikan bagaimana dahulu leluhur manusia ini menjalani kehidupan di kurun prasejarah.






Pengertian Homo Soloensis





Homo Soloensis merupakan subspesies dari insan purba hominid yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. Oleh sebab itu, manusia purba ini sering juga disebut dengan insan dari Solo (Solo Man).





Para hebat memperkirakan dulunya hominid ini telah ada di sekeliling kawasan Sungai Bengawan Solo purba sejak periode Paleolitikum atau zaman kerikil.





Ada sebagian jago yang mengklasifikasikan subspesies ini ke dalam kelompok homo sapiens. Namun, sebagian lain ada yang mengkategorikannya selaku bagian dari spesies homo erectus.





Bahkan ada pula yang beropini bahwa hominid dari Solo ini masih satu golongan dengan spesies homo neanderthalensis yang dulunya tinggal di Eropa, Afrika, dan Asia.





 



Sejarah Homo Soloensis





Sejarah Homo soloensis




Homo Soloensis ditemukan pertama kali oleh pakar purbakala dari Belanda yang telah mempelajari kehidupan purba bertahun-tahun, ialah G.H.R von Koenigswald, Ter Haar, serta Oppenoorth.





Von Koengswald dkk menemukan hominid ini sekitar tahun 1931 hingga 1933 berlokasi di wilayah Desa Ngandong, Sangiran (secara administratif menjadi bagian kabupaten Blora dan Sragen).





Penemuan Fosil





Von Koenigswald melakukan riset di tempat Sangiran dan ternyata tidak cuma mendapati fosil hominid solo saja, namun juga beberapa spesies lain yang dia klasifikasikan menjadi tiga pengkategorian.





Fosil dan artefak tersebut menandai memang ada kehidupan insan purba yang sempat mendiami bantaran Sungai Bengawan Solo seperti halnya hominid solo.





Pertama, pada lapisan Pleistosen Bawah yang menjadi tempat ditemukannya homo mojokertensis, pithecanthropus robustus, serta meganthropus palaeojavanicus.





Kedua, yaitu di lapisan Pleistosen Tengah atau lapisan trinil dijumpai fosil pithecanthropus erectus.





Ketiga, lapisan Pleistosen Atas yang ditemukannya hominid solo dan homo wajakensis.





Pada saat mendapatkan fosil Homo Soloensis, von Koenigswald mendapati ada 11 fosil berwujud tengkorak. Sebagian kerangkanya sudah hancur, akan tetapi masih terdapat beberapa bagian yang patut diteliti lebih lanjut. Organ tulang rahang beserta gigi 11 fosil tersebut nyaris tidak ada semua.





 



Teori von Koenigswald





Von Koenigswald berpendapat bahwa insan purba asal Solo ini sudah berada pada tingkatan yang lebih tinggi kalau dibandingkan dengan spesies pithecanthropus erectus.





Itulah mengapa dinamakan dengan istilah homo yang mempunyai arti insan, alasannya para jago menerka makhluk hidup ini telah meningkat secara logika daripada spesies sebelumnya.





R. Weidenreich juga mendukung pendapat tersebut. Koenigswald dan Weidenreich memperkirakan bahwa hominid solo ini ialah manusia purba hasil evolusi pithecanthropus mojokertensis yang diketahui juga sebagai homo mojokertensis.





Hal ini didasarkan pada struktur badan pada fosil yang diperkirakan sudah mengalami penyempurnaan.





 



Masa Hidup Homo Soloensis





Melihat dari karakteristik fosil yang ditemukan, para ahli memperkirakan Homo Soloensis hidup pada 900—300 ribu tahun silam.





Adapun usia kerangka yang diteliti kira-kira telah berusia 143.00-550.000 tahun, walaupun perlu penelitian lebih lanjut guna memutuskan kemungkinan yang lain.





Apalagi saat ditemukan keadaan fosil telah tidak sepenuhnya berwujud tepat.





Manusia purba dari Solo ini memiliki volume otak yang bekisar antara 1000-1200 cc sehingga banyak mahir berpandangan subspesies ini telah berkembang dari segi kecerdasan.





Kebudayaan yang populer hasil peninggalan hominid solo yaitu alat serpih, kapak genggam, serta peralatan yang dibuat dari bahan tulang atau tanduk hewan.





Dari sana, para andal berupaya menghimpun gambaran bagaimana kehidupan hominid solo ini di era Paleolitikum. Manusia purba cenderung tinggal di daerah sekitar sungai, ditandai dengan banyaknya inovasi fosil yang tak jauh dari sungai.





Hal ini diasumsikan alasannya sungai memberikan suplai air dan hewan yang menunjang kehidupan insan purba.





Sebagaimana karakteristik insan zaman praaksara lainnya, Homo Soloensis bertahan hidup dengan mengandalkan hasil dari alam.





Namun ada yang berlawanan antara subspesies homo sapiens ini dengan spesies sebelumnya adalah meganthropus dan pithecanthropus yang masih merupakan nomaden dan menerapkan gaya hidup berburu dan meramu.





Manusia purba ini sudah mampu mengolah masakan melalui cara-cara pertanian yang sangat sederhana. Kehidupannya pun telah tidak nomaden, karena menetap tinggal di suatu wilayah yang dirasa ideal.





Alat-alat khas zaman Paleolitikum mirip kapak genggam dan kapak perimbas dipakai selaku fasilitas bertahan hidup.





Selain itu, kehidupannya yang telah mulai menetap juga mampu dilihat pada terbentuknya Kjokkenmoddinger ataupun abris sous roche. Bukti-bukti hidup manusia yang sudah mulai menetap.





 



Dugaan Kekerabatan Homo Soloensis





Banyak mahir yang berspekulasi bahwa hominid solo memiliki hubungan dengan insan purba spesies yang lain. Itulah yang disangka menjadi penyebab kesamaan fisik hominid solo dengan manusia purba spesies lain.





Misalnya, dari hasil analisis fitur anatomi pada hominid solo yang sama dengan homo sapiens subspesies javanthropus.





Ada juga peneliti yang menciptakan penjabaran Homo Soloensis dianggap nenek moyang suku Aborigin, anatomi tubuhnya yang sama menjadi dasar pikiran ini.





Namun kemudian diketahui bahwa tidak ada kaitan antara hominid solo dengan suku Aborigin. Jika pun ada relasi, maka itu berasal dari spesies leluhur di atas homo sapiens.





 



Ciri-Ciri Homo Soloensis





Ciri homo soloensis




Dalam mengidentifikasi homo soloensis, setidaknya terdapat beberapa ciri-ciri yang mampu dijadikan tolok ukur dan juga tumpuan.





Agar lebih gampang, ciri-ciri tersebut dipisahkan menjadi ciri fisik dari manusianya, dan ciri budaya dari kebudayaan yang ditinggalkannya. Selain itu, akan dikaji pula akidah-dogma yang ada pada homo Soloensis.





Ciri Fisik Homo Soloensis





Morfologi atau ciri fisik subspesies homo sapiens ini sebetulnya lebih serupa dengan homo erectus. Namun pada beberapa faktor, hominid solo lebih unggul dan bisa dibilang lebih sempurna dari homo erectus.





Contohnya yaitu cara berlangsung telah lebih tegak dan bisa melangkahkan kaki lebih sempurna.





Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri fisik secara lazim dari homo soloensis





  • Mempunyai volume otak antara 1000 sampai 1200 cc
  • Otak kecil dari homo soloensis berukuran lebih besar dibanding otak kecil pada insan Pithecanthropus Erectus
  • Tengkorak kepala berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus
  • Mempunyai tinggi badan sekitar 130 hingga 210 cm
  • Otot pada bagian tengkuk yang mengalami penyusutan
  • Bentuk muka tidak menonjol ke depan
  • Tonjolan pada kening agak terputus di tengah tepatnya di atas hidung
  • Sudah mampu bangkit tegak (erect) dan berjalan dengan lebih sempurna
  • Bentuk fisiknya ibarat insan saat ini
  • Berat badannya berkisar antara 30 sampai 150 kg




Postur tubuh Homo Soloensis diperkirakan setinggi 130—210 cm. Sub spesies ini juga mempunyai keunikan yaitu otot pada bab tengkuknya mengalami penyusutan.





Wajahnya pun tidak lagi menonjol ke depan mirip spesies manusia purba di generasi atasnya. Bagian dahi agak miring ke belakang, serta di tengkoraknya terdapat tonjolan di bersahabat alis yang lebih tebal.





Tengkorak hominid solo lebih besar kalau daripada pithecanthropus erectus. Volume otaknya pun lebih besar, adalah sekitar 1000-1200 cc.





Adapun berat badan manusia purba satu ini berkisar antara 30-150 kilogram. Jika dibayangkan sekilas, postur tubuh hominid solo telah nyaris serupa dengan insan saat ini.





 



Ciri Kebudayaan Homo Soloensis





Homo Soloensis tidak cuma meninggalkan fosil dari anggota tubuh mereka, namun juga artefak alat-alat kehidupan yang menjadi ciri kebudayaan mereka pada dikala hidup.





Berikut ini adalah ciri-ciri kebudayaan yang ditemukan pada insan Homo Soloensis





  • Kapak perimbas
  • Perkakas dari tulang
  • Kapak genggam
  • Alat serpih




Kapak diperkirakan menjadi perlengkapan utama yang dipakai oleh hominid solo ini. Ada jenis kapak genggam, ada juga kapak perimbas. Selain itu ada juga perkakas dan alat serpih dari tulang hewan.





Alat-alat yang ditemukan ini memiliki ciri-ciri mirip budaya Ngandong terdapat di kawasan Papua dan juga pulau Jawa. Penyebaran-penyebaran alat-alat ini mempunyai kaitan yang sangat bersahabat dengan posisi geografis Indonesia.





Seperti yang kita ketahui, Indonesia dahulu terhubung dengan Asia lewat dangkalan Sunda dan terhubung dengan Papua serta Australia melalui dangkalan Sahul.





 



Kepercayaan Homo Soloensis





Banyak mahir yang mempercayai bahwa pertumbuhan budaya manusia purba juga diimbangi dengan pertumbuhan pemikiran serta budaya-budaya lainnya mirip seni dan rohani.





Menurut Karen Armstrong, manusia menciptakan konsep tuhan untuk mejelaskan segala sesuatu yang ada. Tuhan disini menjadi penyebab dari segala hal yang belum bisa mereka jelaskan dengan sains dan teknologi.





Wilhelm Schmidt juga mendukung konsep monoteisme primitif ini dalam bukunya the origin of the idea of god. Pada mulanya, manusia-manusia pertama di Afrika meyakini keesaan ilahi bahwa cuma ada satu dewa yang maha kuasa dan maha melihat segalanya.





Meskipun hadir dalam doa dan sejenisnya, tuhan ini tidak mempunyai kasta agamawan atau apapun yang menjadi penghubung antara insan dengan dewa. Semua orang melakukan doa-doanya tersendiri dan dengan bentukan-bentukannya sendiri.





Hal ini meningkat sebelum kesudahannya ilahi ini digantikan oleh yang kuasa-ilahi pagan yang banyak. Tuhan pagan ini melambangkan kekuatan2 alam dan juga roh-roh nenek moyang yang diwujudkan dalam animisme dan dinamisme.





Oleh alasannya adalah itu, besar kemungkinan bahwa Homo soloensis ini juga telah mengenal dan merasakan kehadiran ilahi dalam kehidupan mereka. Hal ini terjadi alasannya adalah banyak fenomena-fenomena alam yang terjadi pada masanya, tidak dapat dijelaskan oleh teknologi dan ilmu yang mereka miliki pada saat itu.



Sumber ty.com


EmoticonEmoticon